Rabu, 04 Juli 2012

Pangkas Rambut


KETAHUAN JUGA


Sesudah satu bulan tinggal di paroki St.Helena Lippo Karawaci (Maret 2010), rambut saya mulai panjang, perlu dipangkas. Saat makan siang, saya bertanya pada Pastor Surono, rekan se-komunitas: “Dimana tukang pangkas rambut terdekat dan bukan Katolik?”. (Tentang “bukan Katolik” ini penting bagi kami. Umumnya kami sungkan, khawatir dikira minta gratis kalau pergi ke tempat orang Katolik). Pastor Surono menjelaskan: “Dekat kok. Pastor keluar kompleks, melewati Pos Satpam lalu belok kiri. Di situ ada Salon dan bukan Katolik”, ujarnya.

Selesai makan siang, sayapun langsung mencari Salon tersebut. Dan memang ada, persis yang dijelaskan Pastor Surono. Jarak dari pastoran hanya sekitar 350 meter saja. Ketika saya membuka pintu salon, seorang pria yang lemah gemulai menyongsong dan menyambut saya. “Mau potong mas?”, tanyanya dengan kenes. Sebenarnya saya tidak suka, namun sudah terlanjur masuk. Ketidak senangan saya makin bertambah saat pria kenes ini memotong rambut sambil nonton sinetron. Beberapa kali dia berhenti memotong karena terpukau pada sinetron yang ditontonnya.

Menurut pastor Surono, di salon itu ada 2 pria pemotong rambut. “Yang satunya normal kok!”, jelasnya. Tapi saya sudah terlanjur kesal. Bulan berikutnya, saat rambut perlu dipangkas lagi, saya mencari tukang pangkas rambut agak jauh, menjauhi wilayah paroki St.Helena. Saya menuju perumahan Harkit (Harapan Kita), wilayah paroki St.Agustinus. Di Harkit ada banyak salon. Sesudah bolak-balik sampai 3 kali, saya memasuki salon Bright. Untunglah, saya tidak mengenal pemilik salon dan ibu itupun tidak mengenal saya. Aman. Sambil potong rambut, kamipun ngobrol berbasa-basi. Pemilik salon yang memangkas rambut saya namanya ibu Eri. Orangnya ramah dan santun. Pegawainya ada beberapa, umumnya wanita. Selesai potong, saya membayar, mengucap terima kasih dan pergi.

Bulan berikutnya, saya kembali ke salon yang sama. Saya pikir, potongannya cocok, harga tidak mahal dan yang penting dia tidak mengenal saya! Ibu Eri menyambut saya dengan ramah dan langsung menggunting rambut dengan cekatan.

Bulan yang ketiga, saya datang lagi ke salon Bright. Dari balik kaca, saya melihat ibu Eri sedang duduk santai, tidak ada klien satupun. Betapa terkejutnya saya, saat masuk, ibu Eri terlonjak dan berseru dengan amat ramah: “Silahkan….silahkan masuk Romo!!”. Saya kaget sekali. “Kok tahu saya pastor?”, kata saya dalam hati. Sesudahnya ibu Eri menjelaskan. “Minggu kemarin saya ke gereja bersama suami saya. Biasanya saya duduk di belakang. Tapi kemarin saya duduk di deretan agak depan. Waktu melihat romo, saya berkata pada suami saya: “Pa, romo itu seperti Pak Heri yang suka pangkas di tempat saya. Ternyata memang romo…!!”, ujarnya dengan nada gembira. Sejak saat itu saya tidak diperkenankan membayar lagi. Saya sempat berniat untuk pindah ke tempat lain. Namun sepertinya bu Eri membaca pikiran saya. Ketika rambut saya sudah mulai panjang, bu Eri kirim SMS: “Romo, sudah waktunya potong rambut. Saya tunggu ya..!”.

Heri Kartono.


6 komentar:

applausr mengatakan...

hehehehe,, betul ya romo harus yang bukan katholik ya..

ternyata yang punya juga orang katholik..

Lilis mengatakan...

Hahahahhahahahaa begitulah nasib jadi orang terkenal ya pastur :)

Beni mengatakan...

Romo Heri, kalau gitu, mending tambah paket medicure sama pedicure. Itung-itung biaya promosi ke web. Hahahaha!!!

isnar mengatakan...

ternyata dunia ini sempit ya Mo,
dimana-mana dan kapanpun kita ketemu sodara
kalo mau aman salonnya diboyong ke pastoran saja Mo...he..he..

triastuti mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
triastuti mengatakan...

Ha ha ha...lucune mbayangin wajahnya Romo Heri pas kesal karena pemotong rambutnya sambil nonton sinetron, xixixi ....senang ya akhirnya ketemu Bu Eri yang baik dan perhatian...begitulah "nasib" pelayan Tuhan, ke mana-mana pasti umat ingin berlomba-lomba melayani Anda, God bless you full Mo Heri..:)